Rabu, 31 Oktober 2012

CRITICAL REVIEW : “Good Behavior” dan “Missbehavior”, Apa Ukurannya?

Oleh : Asmiani Fawziah

Pada entry sebelumnya, disini saya memposting tentang artikel : Good behavior, missbehavior, apa ukurannya? Artikel ini tampak menarik di bagian judulnya yang mana akan membahas sekelumit ukuran dan indikator anak murid yang good dan miss behavior-nya? Namun, kami belum menemukan secara tersurat bagaimana indikator tersebut.

Apakah good behavior itu??

Good behavior ditandai dengan perilaku murid sekolahan, baik sekolah dasar, sekolah lanjutan, maupun sekolah menegah, bahkan bisa juga mahasiswa kampus perguruan tinggi, yang manis, yang memperhatikan guru, yang menjadi anak emas sang pengajar, dan membuat hati guru menyenangkan karena ulahnya. Good behavior, perilaku yang baik secara gamblangnya, jelas saja anak yang memiliki perilaku baik akan mendapatkan poin plus-plus dari sudut pandang pengajarnya, tapi bagaimana tolak ukur murid yang memiliki ‘good behavior’  tersebut? Bagaimana juga mengembangkan anak yang miss menjadi good?

Nah, pertanyaan di atas, akan kita kita bahas one by one, step by step, di bawah ini.

Setiap anak tentunya mempunyai karakteristik yang berbeda-beda, di mana ada anak yang miss, maupun ada juga yang good, kami meyakini bahwa setiap anak ‘normal’ pastilah menginginkan perilaku yang good, begitu juga dengan orang tua dan guru pengajarnya di sekolah. Orang tua  mana yang rela anaknya berperilaku miss sehingga menjadi trouble maker dalam kehidupan keluarga, yang membuat masalah tak kunjung reda, tak ada habisnya dan hanya membuat pusing mereka. Guru atau pengajar mana pula yang ingin mempunyai anak didik yang berperilaku miss, ‘kepiawaan guru atau pengajar’ akan dipertanyakan ketika memiliki sejumlah anak didik yang miss, karena ada indikasi apakah salah muridnya atau bahkan salah gurunya.


Berbicara mengenai good dan miss behavior , ini adalah berbicara mengenai perilaku, perilaku yang diamati atau dapat dilihat berdasarkan pengalaman , bukan proses mental, di mana behavior tersebut adalah suatu konsep pembelajaran, mengapa pembelajaran? Karena behavior ini dapat berubah pada seseorang karena pengalamannya. Jadi tersiratnya perilaku miss bisa berubah menjadi good, dan perilaku good-pun dapat berubah menjadi miss.


Bagaimana indikator good behavior?
Kami mendiskusikan bahwa suatu perilaku itu adalah suatu yang berjalan secara non-absolute, tidak mutlak, dasarnya adalah individu dapat memanipulasi perilakunya dalam situasi ataupun kondisi yang dia inginkan. Behavior juga menjelaskan tentang belajar, yaitu perubahan perilaku yang dapat diamati, dinilai, dan diukur secara konkret. Jadi of course, bahwa suatu perilaku tentunya mempunyai tolak ukur tersendiri. Apabila sudah memenuhi tolak ukur suatu perilaku yang berubah dari tolak ukur perilaku sebelumnya, maka itulah yang disebut belajar, ada perubahan yang terjadi.

Beberapa indikator anak yang ‘good behavior’ di sekolah adalah sebagai berikut :
·         Aktif dalam kegiatan belajar mengajar
·         Memperhatikan pengajar ketika menjelaskan di dalam kelas
·         Tidak membuat keributan pada saat kegiatan belajar mengajar
·         Tidak melanggar ketentuan aturan dan norma yang berlaku di sekolahnya
·         Disiplin pada tata tertib sekolah


Sekelumit penjabaran ukuran lain masih banyak lagi ditemukan berdasarkan case study analysis, tapi kami memberikan batasan bahwa yang menjadi indikator utama anak yang memiliki ‘good behavior’ adalah yang tercantum di atas.

Lantas, bagaimana dengan Miss behavior?

Apakah miss behavior itu?
Miss behavior adalah perilaku yang menyimpang yang terjadi pada anak sekolahan, baik sekolah dasar, sekolah lanjutan, sekolah menegah, ataupun mahasiswa perguruan tinggi. Underlined disini adalah perilaku menyimpang.

Apakah perilaku menyimpang tersebut?
Perilaku menyimpang pada umumnya dijelaskan para ahli sebagai perilaku yang berbeda dengan perilaku pada umumnya. Berbeda dari segi psikososial dan behavior yang tercermin dalam kehidupannya sehari-hari di masyarakat, sekolah pada umumnya karena artikel kasus di atas  mengenai kasus yang banyak dan dapat dikatakan semua sekolah mempunyai problem yang sama.

Beberapa indikator miss behavior?
·         Anak melanggar ketentuan, aturan, norma, dan tata tertib sekolah
·         Tidak disiplin
·         Membuat keributan di dalam kelas ketika kegiatan belajar mengajar
·         Tak acuh pada guru pengajar
·         Bertengkar dengan teman-temannya
Dari kutipan artikel di sini bahwa miss behavior yang paling sering terjadi adalah perkelahian, keributan di kelas, menggosip bersama teman ketika kegiatan belajar mengajar di kelas, telat datang ke sekolah, merokok, piercing, tato, bolos sekolah, narkoba, ataupun pornografi.

Nah, yang menjadi masalah sekarang dan menjadi blocked point seperti tertera pada akhir artikel yaitu kata terakhir dari artikel itu ---> “” Sekali lagi, perilaku “menyimpang” anak di sekolah mesti disikapi secara kritis pada jaman ini, setujukah anda? “”

Ketika disodorkan sebuah pertanyaan tersebut yang menjadi ulasan kami itu, tentulah kami menyetujui bahwa miss behavior harus disikapi dengan serius, dengan kritis dan benar-benar sehingga apa yang menjadi trouble maker pada sekolah dapat diatasi, dapat diminimalkan dengan adanya modifikasi perilaku agar dapat menjadi good behavior.

Apa yang harus dilakukan?
Artikel di atas telah menjelaskan mengenai solusi dan strategi bagaimana menangani anak yang bermasalah, dan bagaimana mendorong sikap disiplin anak. Segelintir solusi telah diungkapkan penulis bagaimana menyikapinya. Namun, kami belum puas apabila belum memberikan kontribusi yang berarti dalam critical review ini? Bagaimana peran psikologi pendidikan yang telah kami pelajari di bangku kuliah semester 3 ini dapat memberikan applied nyata pada kasus tersebut, lebih kami kerucutkan lagi, bagaimana peranan dan teaching strategies untuk pengajar, guru BP/BK (bimbingan penyuluhan dan konseling), dan peran serta orang tua anak didik tersebut dari sudut pandang teori belajar dan tingkah laku (behavioristik)?

Dari orientasi artikel kasus di atas, terlihat bahwa seorang anak menceritakan pengalaman ‘tidak nyaman’nya di kelas ketika dia yang mau konsentrasi dengan pelajaran yang disampaikan oleh pengajarnya dengan bersamaannya terjadi keributan yang mengganggu. Namun apa yang didapatkan sang anak? Guru malah memarahinya dan menyuruh keluar kelas, tidak mengizinkan masuk ke kelas, meminta agar anak tersebut minta maaf, dan memanggil orang tua anak didik tersebut.

Apakah sikap guru tersebut benar?
Bagaimana kita menyikapinya?
Dapat dilihat dan diamati serta dianalisis disini bahwa seorang anak itu memerlukan teman curhat untuk berbagi keluh kesahnya. Apabila tidak mendapatkan sosok teman curhat di sekolah anak akan curhat dengan orang tuanya, apabila kembali tidak mendapatkan sosok tersebut anak akan curhat pada temannya. Jadi harus ada dukungan dan peran serta sosial agar anak menjadi good behavior-nya.

Lantas apakah cukup dengan sosok teman curhat saja, setidaknya itu adalah poin pertama yang dapat kami ambil dari artikel kasus diatas.

Sikap sang guru pada word story tersebut terlihat bahwa guru itu masih belum dapat memahami dan mengerti keadaan muridnya. Terbukti bahwa pembelajaran beliau pun belum mendapatkan perhatian khusus dari anak didik, ada anak didik yang ribut, saling mengosip, lempar kertas, dan lain-lain. Jadi satu hal yang menjadi pertanyaan besar, guru tersebut hanya mengajar saja kah? Hanya menyampaikan materi tanpa harus mengetahui anak didiknya paham atau tidak? Suatu kesalahan yang fatal, apabila seorang guru pengajar hanya mempunyai nilai pemahaman bahwa seorang guru seperti itu.

Mengapa sang guru tersebut bersikap “menang sendiri” — meyakini bahwa apa yang dia pikirkan dan yakini adalah sebuah kebenaran mutlak. Parker J. Palmer (1998) mengingatkan bahwa salah satu kesulitan paling besar bagi guru untuk memainkan peran utama sebagai pendidik adalah kecenderungan untuk berpikir “either-or”, atau dalam konteks polaritas hitam-putih. Sang guru adalah produk masa lalu dari keluarganya, mengalami proses pendidikan selama bertahun-tahun, dan berinteraksi dengan beragam orang. Berbagai pengalaman macam itu berpadu dan membentuk struktur pengetahuan yang menjadi ideologi — tatanan nilai yang diakui kebenarannya. Persoalannya adalah ketika sang guru tidak tumbuh dalam kultur reflektif — yang mengamini kebenaran tunggal sebagai hal mutlak yang tidak bisa diganggu gugat. Ketika dihadapkan dengan perspektif berbeda dia akan memberontak. Guru macam ini bukan berarti tidak pandai. Tetapi sikapnya terhadap realitas hidup yang kompleks bisa jadi sangat kaku dan telah memfosil.

Terlihat juga bagaimana guru tersebut tanpa mendengarkan dan menerima penjelasan dari murid langsung bersikap menyuruh anak tersebut keluar, meminta agar memohon maaf dan memangil orang tuanya, apakah itu solusi menangani anak yang miss?


Jadi bagaimana solusinya?
Pemahaman pada anak didik adalah poin utama, bagaimana memaknai keadaan anak didik, mengoptimalkan pemahamannya dan mengerti akan situasi yang terjadi, seorang guru pengajar harus mempunyai strategi tertentu agar ia dapat lebih mengenal dan dapat mengidentifikasikan keadaan anak didik.

Maka dari itu kami mengidentifikasikan bagaimana indikator dari perilaku miss dan good.
Kemudian, apa yang harus dilakukan agar perilaku good tetaplah good behavior-nya dan perilaku miss menjadi good?

1.      Guru dan orang terdekat khususnya di sekolah dapat mengidentifikasi perilaku pada anak didik tersebut, sehingga dalam modifikasi perilaku guru dapat memberikan reinforcer yang tepat pada murid tersebut.
2.      Memberikan indikator perilaku apa yang ingin dicapai dan ditargetkan.
3.      Memberikan reinforcer dan punishment yang tepat dengan kriteria yang telah ditentukan.
4.      Mengobservasi dan terus memantau perkembangan dari anak didik tersebut.
5.      Apabila telah menunjukkan tanda-tanda keberhasilan dalam modifikasi tersebut, maka guru dapat mengurangi reinforcer-nya.

Jadi, titik sentral untuk perbaikan perilaku tersebut ada dipundak guru pengajar ketika di sekolahnya, namun tetap dengan pemantauan dan pengawasan dari orang tua selaku wali murid dari anak didik tersebut, sehingga problem yang menjadi trouble maker itu dapat diminimalkan.
Menyinggung mengenai reinforcer yang tertulis pada solusi mengatasi anak bermasalah, reinforcer itu adalah suatu program yang  tepat dilakukan oleh guru pengajar kepada anak didiknya, sehingga motivasi untuk berperilaku baik (good behavior) tertanam padanya. Namun, harus diperhatikan, bahwa reinforcement yang diberikan harus sesuai dan mendukung pada perilakunya yang baik. Sehingga tidak menanamkan sikap yang akan menjadi ‘habit’ pada anak didik tersebut.
Pengaruh pemberian reinforcement pada anak didik sudah dapat dibuktikan pada penelitian sebelumnya, yang mana signifikan dapat mempengaruhi perilakunya. Anak didik akan merasa bahwa dia dihargai akan apa yang dia lakukan dan menjadi sadar bahwa perilaku miss yang ditimbulkan hanya berdampak negatif saja.


 




Tidak ada komentar:

Posting Komentar