Pada entry sebelumnya, disini saya memposting tentang artikel : Good behavior, missbehavior,
apa ukurannya? Artikel ini tampak menarik di bagian judulnya yang mana akan
membahas sekelumit ukuran dan indikator anak murid yang good dan miss behavior-nya?
Namun, kami belum menemukan secara tersurat bagaimana indikator tersebut.
Apakah good behavior itu??
Good behavior
ditandai dengan perilaku murid sekolahan, baik sekolah dasar, sekolah lanjutan,
maupun sekolah menegah, bahkan bisa juga mahasiswa kampus perguruan tinggi, yang
manis, yang memperhatikan guru, yang menjadi anak emas sang pengajar, dan
membuat hati guru menyenangkan karena ulahnya. Good behavior, perilaku
yang baik secara gamblangnya, jelas saja anak yang memiliki perilaku baik akan
mendapatkan poin plus-plus dari sudut
pandang pengajarnya, tapi bagaimana tolak ukur murid yang memiliki ‘good behavior’ tersebut? Bagaimana juga mengembangkan anak
yang miss menjadi good?
Nah, pertanyaan di atas, akan kita kita bahas one by one, step by step, di bawah ini.
Setiap anak tentunya mempunyai karakteristik yang
berbeda-beda, di mana ada anak yang miss,
maupun ada juga yang good, kami
meyakini bahwa setiap anak ‘normal’ pastilah menginginkan perilaku yang good, begitu juga dengan orang tua dan
guru pengajarnya di sekolah. Orang tua
mana yang rela anaknya berperilaku miss
sehingga menjadi trouble maker dalam kehidupan keluarga, yang
membuat masalah tak kunjung reda, tak ada habisnya dan hanya membuat pusing
mereka. Guru atau pengajar mana pula yang ingin mempunyai anak didik yang
berperilaku miss, ‘kepiawaan guru
atau pengajar’ akan dipertanyakan ketika memiliki sejumlah anak didik yang miss, karena ada indikasi apakah salah
muridnya atau bahkan salah gurunya.
Berbicara mengenai good dan miss behavior , ini adalah berbicara mengenai
perilaku, perilaku yang diamati atau dapat dilihat berdasarkan pengalaman ,
bukan proses mental, di mana behavior
tersebut adalah suatu konsep pembelajaran, mengapa pembelajaran? Karena behavior ini dapat berubah pada
seseorang karena pengalamannya. Jadi tersiratnya perilaku miss bisa berubah menjadi good,
dan perilaku good-pun dapat berubah
menjadi miss.
Bagaimana indikator
good behavior?
Kami mendiskusikan bahwa suatu
perilaku itu adalah suatu yang berjalan secara non-absolute, tidak
mutlak, dasarnya adalah individu dapat memanipulasi perilakunya dalam situasi
ataupun kondisi yang dia inginkan. Behavior juga menjelaskan tentang belajar,
yaitu perubahan perilaku yang dapat diamati, dinilai, dan diukur secara
konkret. Jadi of course, bahwa suatu perilaku tentunya mempunyai tolak ukur
tersendiri. Apabila sudah memenuhi tolak ukur suatu perilaku yang berubah dari
tolak ukur perilaku sebelumnya, maka itulah yang disebut belajar, ada perubahan
yang terjadi.
Beberapa
indikator anak yang ‘good behavior’ di sekolah adalah sebagai
berikut :
·
Aktif dalam kegiatan
belajar mengajar
·
Memperhatikan pengajar
ketika menjelaskan di dalam kelas
·
Tidak membuat keributan
pada saat kegiatan belajar mengajar
·
Tidak melanggar
ketentuan aturan dan norma yang berlaku di sekolahnya
·
Disiplin pada tata
tertib sekolah
Sekelumit penjabaran ukuran lain masih banyak lagi
ditemukan berdasarkan case study analysis,
tapi kami memberikan batasan bahwa yang menjadi indikator utama anak yang
memiliki ‘good behavior’ adalah yang tercantum di atas.
Lantas, bagaimana
dengan Miss behavior?
Apakah miss behavior itu?
Miss
behavior adalah perilaku yang menyimpang yang terjadi pada anak sekolahan,
baik sekolah dasar, sekolah lanjutan, sekolah menegah, ataupun mahasiswa
perguruan tinggi. Underlined disini
adalah perilaku menyimpang.
Apakah perilaku
menyimpang tersebut?
Perilaku menyimpang pada umumnya dijelaskan para
ahli sebagai perilaku yang berbeda dengan perilaku pada umumnya. Berbeda dari
segi psikososial dan behavior yang tercermin dalam kehidupannya sehari-hari di
masyarakat, sekolah pada umumnya karena artikel kasus di atas mengenai kasus yang banyak dan dapat dikatakan
semua sekolah mempunyai problem yang sama.
Beberapa
indikator miss behavior?
·
Anak melanggar
ketentuan, aturan, norma, dan tata tertib sekolah
·
Tidak disiplin
·
Membuat keributan di
dalam kelas ketika kegiatan belajar mengajar
·
Tak acuh pada guru pengajar
·
Bertengkar dengan
teman-temannya
Dari kutipan artikel di sini bahwa miss behavior
yang paling sering terjadi adalah perkelahian, keributan di kelas, menggosip
bersama teman ketika kegiatan belajar mengajar di kelas, telat datang ke
sekolah, merokok, piercing, tato,
bolos sekolah, narkoba, ataupun pornografi.
Nah, yang menjadi masalah sekarang dan menjadi blocked point seperti tertera pada akhir artikel yaitu kata terakhir dari artikel itu ---> “” Sekali lagi, perilaku
“menyimpang” anak di sekolah mesti disikapi secara kritis pada jaman ini,
setujukah anda? “”
Ketika disodorkan sebuah pertanyaan
tersebut yang menjadi ulasan kami itu, tentulah kami menyetujui bahwa miss behavior
harus disikapi dengan serius, dengan kritis dan benar-benar sehingga apa yang
menjadi trouble maker pada sekolah
dapat diatasi, dapat diminimalkan dengan adanya modifikasi perilaku agar dapat
menjadi good behavior.
Apa yang
harus dilakukan?
Artikel di atas telah menjelaskan
mengenai solusi dan strategi bagaimana menangani anak yang bermasalah, dan
bagaimana mendorong sikap disiplin anak. Segelintir solusi telah diungkapkan
penulis bagaimana menyikapinya. Namun, kami belum puas apabila belum memberikan
kontribusi yang berarti dalam critical
review ini? Bagaimana peran psikologi pendidikan yang telah kami pelajari
di bangku kuliah semester 3 ini dapat memberikan applied nyata pada kasus tersebut, lebih kami kerucutkan lagi,
bagaimana peranan dan teaching strategies untuk pengajar, guru BP/BK
(bimbingan penyuluhan dan konseling), dan peran serta orang tua anak didik
tersebut dari sudut pandang teori belajar dan tingkah laku (behavioristik)?
Dari orientasi artikel kasus di atas, terlihat bahwa
seorang anak menceritakan pengalaman ‘tidak nyaman’nya di kelas ketika dia yang
mau konsentrasi dengan pelajaran yang disampaikan oleh pengajarnya dengan
bersamaannya terjadi keributan yang mengganggu. Namun apa yang didapatkan sang
anak? Guru malah memarahinya dan menyuruh keluar kelas, tidak mengizinkan masuk
ke kelas, meminta agar anak tersebut minta maaf, dan memanggil orang tua anak
didik tersebut.
Apakah sikap
guru tersebut benar?
Bagaimana kita
menyikapinya?
Dapat dilihat dan diamati serta dianalisis disini
bahwa seorang anak itu memerlukan teman curhat untuk berbagi keluh kesahnya.
Apabila tidak mendapatkan sosok teman curhat di sekolah anak akan curhat dengan
orang tuanya, apabila kembali tidak mendapatkan sosok tersebut anak akan curhat
pada temannya. Jadi harus ada dukungan dan peran serta sosial agar anak menjadi
good behavior-nya.
Lantas apakah cukup dengan sosok teman curhat saja,
setidaknya itu adalah poin pertama yang dapat kami ambil dari artikel kasus
diatas.
Sikap sang guru pada word story tersebut
terlihat bahwa guru itu masih belum dapat memahami dan mengerti keadaan muridnya.
Terbukti bahwa pembelajaran beliau pun belum mendapatkan perhatian khusus dari
anak didik, ada anak didik yang ribut, saling mengosip, lempar kertas, dan
lain-lain. Jadi satu hal yang menjadi pertanyaan besar, guru tersebut hanya
mengajar saja kah? Hanya menyampaikan materi tanpa harus mengetahui anak
didiknya paham atau tidak? Suatu kesalahan yang fatal, apabila seorang guru
pengajar hanya mempunyai nilai pemahaman bahwa seorang guru seperti itu.
Mengapa sang guru tersebut bersikap “menang sendiri”
— meyakini bahwa apa yang dia pikirkan dan yakini adalah sebuah kebenaran
mutlak. Parker J. Palmer (1998) mengingatkan bahwa salah satu kesulitan paling
besar bagi guru untuk memainkan peran utama sebagai pendidik adalah
kecenderungan untuk berpikir “either-or”,
atau dalam konteks polaritas hitam-putih. Sang guru adalah produk masa lalu
dari keluarganya, mengalami proses pendidikan selama bertahun-tahun, dan
berinteraksi dengan beragam orang. Berbagai pengalaman macam itu berpadu dan
membentuk struktur pengetahuan yang menjadi ideologi — tatanan nilai yang
diakui kebenarannya. Persoalannya adalah ketika sang guru tidak tumbuh dalam
kultur reflektif — yang mengamini kebenaran tunggal sebagai hal mutlak yang
tidak bisa diganggu gugat. Ketika dihadapkan dengan perspektif berbeda dia akan
memberontak. Guru macam ini bukan berarti tidak pandai. Tetapi sikapnya
terhadap realitas hidup yang kompleks bisa jadi sangat kaku dan telah memfosil.
Terlihat juga bagaimana guru tersebut tanpa
mendengarkan dan menerima penjelasan dari murid langsung bersikap menyuruh anak
tersebut keluar, meminta agar memohon maaf dan memangil orang tuanya, apakah
itu solusi menangani anak yang miss?
Jadi bagaimana
solusinya?
Pemahaman pada anak didik adalah poin utama,
bagaimana memaknai keadaan anak didik, mengoptimalkan pemahamannya dan mengerti
akan situasi yang terjadi, seorang guru pengajar harus mempunyai strategi
tertentu agar ia dapat lebih mengenal dan dapat mengidentifikasikan keadaan
anak didik.
Maka dari itu kami mengidentifikasikan bagaimana indikator
dari perilaku miss dan good.
Kemudian, apa yang harus dilakukan agar perilaku good tetaplah good behavior-nya dan
perilaku miss menjadi good?
1. Guru
dan orang terdekat khususnya di sekolah dapat mengidentifikasi perilaku pada
anak didik tersebut, sehingga dalam modifikasi perilaku guru dapat memberikan reinforcer yang tepat pada murid
tersebut.
2. Memberikan
indikator perilaku apa yang ingin dicapai dan ditargetkan.
3. Memberikan
reinforcer dan punishment yang tepat dengan kriteria yang telah ditentukan.
4. Mengobservasi
dan terus memantau perkembangan dari anak didik tersebut.
5. Apabila
telah menunjukkan tanda-tanda keberhasilan dalam modifikasi tersebut, maka guru
dapat mengurangi reinforcer-nya.
Jadi, titik sentral untuk perbaikan perilaku
tersebut ada dipundak guru pengajar ketika di sekolahnya, namun tetap dengan
pemantauan dan pengawasan dari orang tua selaku wali murid dari anak didik
tersebut, sehingga problem yang menjadi trouble
maker itu dapat diminimalkan.
Menyinggung mengenai reinforcer yang tertulis pada solusi mengatasi anak bermasalah, reinforcer itu adalah suatu program
yang tepat dilakukan oleh guru pengajar
kepada anak didiknya, sehingga motivasi untuk berperilaku baik (good behavior)
tertanam padanya. Namun, harus diperhatikan, bahwa reinforcement yang diberikan harus sesuai dan mendukung pada
perilakunya yang baik. Sehingga tidak menanamkan sikap yang akan menjadi ‘habit’ pada anak didik tersebut.
Pengaruh pemberian reinforcement pada anak didik sudah dapat dibuktikan pada
penelitian sebelumnya, yang mana signifikan dapat mempengaruhi perilakunya.
Anak didik akan merasa bahwa dia dihargai akan apa yang dia lakukan dan menjadi
sadar bahwa perilaku miss yang
ditimbulkan hanya berdampak negatif saja.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar