Rabu, 31 Oktober 2012

“Good Behavior” dan “Misbehavior”, Apa Ukurannya?


Belum ada jam 8.00 pagi waktu itu. Ketika seorang anak tertunduk, dengan wajah agak “merah”, dan nampak lesu, tiba-tiba saja sudah berdiri di depan meja saya. Saya cukup kaget dibuatnya. Setelah duduk, anak itu mencoba menceritakan pengalamannya.
Saat itu sedang pelajaran fisika. Situasi kelas di deretan bangku belakang agak gaduh. Beberapa anak saling berbisik sana sini bercerita tentang liga Inggris yang ditontonnya semalam. Sebagian saling melempar kertas, entah apa isinya. Sementara itu, pak guru masih asyik mencatat sesuatu di papan. Ia mencoba merapat ke bangku depan. Ia berharap akan lebih jelas melihat tulisan sang guru di papan, sekaligus terhindar dari dari gangguan”suara-suara” temannya yang asyik ngobrol di belakang.
Namun hari itu “untung” belum di pihaknya. Guru mendapatinya tengah “jalan-jalan” dan spontan menegurnya dengan “keras”. Ia mencoba menjelaskan masalahnya, sambil menatap wajah sang guru. Bukan pengertian yang diterimannya, justru umpatan dianggap tidak tahu sopan-santun karena “memelototi” sang guru.
Diusirnya anak itu keluar kelas. Sambil diberi litani tak diijinkan masuk kelas sekiranya anak itu belum meminta maaf, dan orang tua “menghadap” guru itu di sekolah. Malang nian anak itu.
Wooow. “Mimpi apa semalam” pikir saya. Selesai mendengar cerita anak itu. Karena “kedisiplinan” sekolah merupakan salah satu tanggungjawab yang diberikan kepada saya, saya mencoba menikmati “durian runtuh” ini. Lama saya termenung mendengar cerita anak itu, sambil berpikir mencari saat yang tepat untuk mencoba berbicara dan mendengar bagaimana situasi sebenarnya menurut versi sang guru.
Perilaku anak itu tadi adalah satu contoh yang kadang dikelompokkan sebagai tindakan “melanggar” tata tertib sekolah. Anak-anak ini adalah “sumber masalah” atau trouble maker bagi guru.
Contoh lain misalnya, siswa merokok di sekolah, sementara aturan sekolah melarangnya. Melakukan perkelahian, menggunakan narkoba, atau terlibat pornografi di sekolah.
Dalam bentuk yang lain bisa muncul seperti membolos, mencuri, atau merusak barang milik sekolah. Juga menyontek saat ujian. Beberapa sekolah menerapkan aturan tidak boleh mengecat rambut, rambut panjang, menato badan, tindik telinga atau bagian tubuh lain. Atau tidak mengerjakan / mengumpulkan pekerjaan rumah. Salah memakai seragam, dan berpakaian “seenaknya” dan sederetan perilaku negatif lain biasanya disebut perilaku menyimpang (misbehavior). Sebuah perilaku yang bertentangan atau tidak sejalan dengan tata tertib atau rule of the game sekolah diasosiasikan sebagai misbehavior.
Sementara setiap aktifitas di sekolah yang sesuai dengan norma-norma umum dan tata tertib sekolah serta berlawanan dengan misbehavior tadi disebut sebagai perilaku baik (good behavior), dan biasanya itu menyenangkan hati sang guru.
Bagaimana mendorong sikap disiplin anak?
Sikap disiplin dan perilaku baik seorang anak dapat dikembangkan melalui beragam strategi dan aktifitas. Bear, G.G & Duquette, J.F (2008), dalam tulisannya yang berjudul “Fostering Self-Discipline” yang dimuat di majalah Principal Leadership edisi bulan oktober menyebutkan beberapa hal perlu diperhatikan untuk mengembangkan sikap disiplin diri anak di sekolah.
Pertama, perlu dikedepankan sikap peduli, hormat dan mendukung. Mengembangkan sikap hormat dan bersahabat dengan setiap anak tanpa padang bulu akan membuat anak yang membuat kesalahan cepat belajar dari kesalahannya. Sikap itu akan membuat anak merasa lebih dihargai dan diterima meskipun ia bersalah.
Kedua, melibatkan anak dalam pengambilan keputusan. Riset menunjukkan bahwa sekolah yang memiliki tingkat pelanggaran kedisiplinan yang rendah lebih disebabkan karena anak merasa bahwa aturan main di sekolahnya jelas, adil, dan tidak “keras”. Dengan terlibat dalam pengambilan keputusan, anak akan memiliki ownership yang lebih, dia merasa juga perlu ikut bertanggungjawab “menegakkan” aturan itu (Arum, 2003).
Ketiga, melibatkan orang tua dalam pengambilan keputusan sekolah. Keterlibatan orang tua diperlukan agar terjadi keseimbangan antara kebiasaan dan norma perilaku yang diterima di sekolah dengan apa yang dilakukan orang tua di rumah. Seberapa besarnya upaya penanaman nilai dilakukan di sekolah, tidak akan banyak artinya ketika semua itu di-“negasi” oleh perilaku orang tua di rumah.
Keempat, mengajarkan anak masalah sosial dan moral yang relevan bagi mereka. Menggunakan berbagai kesempatan untuk melatih anak memiliki ketrampilan pemecahan masalah berbagai isu social dan moral. Tema-tema “sex bebas”, pengguguran, merokok, drug, dsb dapat dipergunakan untuk mengasah ketajaman anak dalam melewati tahapan perkembangan kepribadiannya.
Kelima, menyadari bahwa setiap anak berbeda. Setiap anak perlu diakui bahwa mereka memiliki kepribadian dan temperamen yang berbeda. Disiplin sekolah perlu mengakomodasi dan tidak memperlakukan mereka sebagai “barang” yang sama.
Keenam, berikan penghargaan dan pujian. Memberikan feedback yang positif dalam bentuk pujian dan penghargaan yang tepat dan proporsinal, dalam banyak hal akan lebih efektif daripada “kontrol” yang berlebihan kepada anak. Misalnya, “minggu ini tidak ada pekerjaan rumah buat kalian, karena kita sudah bekerja keras minggu ini” akan lebih baik daripada mengatakan “kalau kamu menaati peraturan sekolah, tidak ada pekerjaan rumah buat kalian minggu depan”.
Ketujuh, mereka adalah remaja. Menyadari mereka adalah remaja adalah penting artinya buat mereka. Guru tidak bisa memperlakukan mereka sebagai orang dewasa “kecil”. Mendengarkan dan menjadi pendorong mereka atas segala kesulitan dan masalah pribadinya, akan lebih bermakna bagi perkembangan diri mereka.
Strategi menangani anak “bermasalah”
Bagaimana pun menangani mereka yang bermasalah memerlukan ketrampilan dan energi tersendiri. Bear dan Duquette memberikan beberapa resep praktis bagaimana guru menangani anak “bermasalah”.
Bersikap tenang, tegas, dan adil. Guru harus menunjukkan sikap dan perhatian yang adil pada anak. Ia tidak perlu larut dalam kemarahan. Fokusnya adalah pada “perilaku” anak yang dianggap salah, dan bukan cepat membuat penilaian (judgment) bahwa anak tersebut “jahat” dan “salah”.
Melihat masalah sebagai kesempatan untuk belajar. Guru harus belajar dari setiap masalah yang dihadapinya. Menunjukkan kepada anak, bahwa ia dan anak itu bisa bersalah, namun yang penting bagaimana memperbaikinya ke depan. Anak itu bersalah, namun dia bisa belajar dari kesalahannya.
Fokus pada dampak perilaku anak bagi orang lain. Setiap perilaku anak yang “bermasalah” biasanya menjadikan dirinya ukuran segalannya. Maka kepada anak itu perlu diajak merefleksikan perbuatannya bagi orang lain. Bagaimana sikap dan perasaaan orang lain di sekitarnya, misalnya teman sekelas atau perasaan orang tuanya.
Mempertimbangkan “alasan” dan memperbaiki cara berpikir. Setiap alasan di balik setiap penyimpangan perilaku anak perlu di perhatikan oleh guru. Ketika itu dilewati, dan sekedar anak diajak berubah hanya atas dogma “taat”, sebenarnya guru tidak berhasil mengubah cara berpikir dan bersikap yang salah pada diri anak tersebut.
Berikan hukuman secara berjenjang dan melalui beragam bentuk. Bagian terakhir adalah hukuman. Bagian ini pun sebisa mungkin dilakukan dalam bentuk yang bervariasi, agar karakteristik anak tetap dihargai dan tujuan pemberian hukuman itu pun tercapai. Hukuman yang tidak kreatif, hanya bersifat fisik misaknya, tidak memberikan efek positif sebagaiman diharapkan.
Akhirnya perlu digarisbawahi, terkadang tidak mudah menilai perlaku “menyimpang” pada anak. Perilaku “’kreatif” dan “menyimpang” tidak jarang saling beririsan. Apa yang kita pikirkan ketika anak di sekolah membara “barang” yang bentuknya seperti alat kelamin pria, misalnya? Kita berasumsi anak itu dengan pasal “pornografi”, padahal mungkin anak itu sedang merefleksikan bagaiman pentingnya organ itu bagi kehidupan seorang pria.
Sekali lagi, perilaku “menyimpang” anak di sekolah mesti disikapi secara kritis pada jaman ini, setujukah anda?




Referensi :
Wibowo, Thomas. 28 Februari 2009. Good Behavior dan Misbehavior, Apa Ukurannya? www. kompas.com. diakses 27 September 2009. Online.


****
Artikel ini digunakan untuk melakukan tugas critical review yang akan dibahas pada entry selanjutnya...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar