Belum ada jam 8.00 pagi waktu itu.
Ketika seorang anak tertunduk, dengan wajah agak “merah”, dan nampak lesu,
tiba-tiba saja sudah berdiri di depan meja saya. Saya cukup kaget dibuatnya.
Setelah duduk, anak itu mencoba menceritakan pengalamannya.
Saat itu sedang pelajaran fisika.
Situasi kelas di deretan bangku belakang agak gaduh. Beberapa anak saling
berbisik sana sini bercerita tentang liga Inggris yang ditontonnya semalam.
Sebagian saling melempar kertas, entah apa isinya. Sementara itu, pak guru
masih asyik mencatat sesuatu di papan. Ia mencoba merapat ke bangku depan. Ia
berharap akan lebih jelas melihat tulisan sang guru di papan, sekaligus
terhindar dari dari gangguan”suara-suara” temannya yang asyik ngobrol di
belakang.
Namun hari itu “untung” belum di
pihaknya. Guru mendapatinya tengah “jalan-jalan” dan spontan menegurnya dengan
“keras”. Ia mencoba menjelaskan masalahnya, sambil menatap wajah sang guru.
Bukan pengertian yang diterimannya, justru umpatan dianggap tidak tahu
sopan-santun karena “memelototi” sang guru.
Diusirnya anak itu keluar kelas.
Sambil diberi litani tak diijinkan masuk kelas sekiranya anak itu belum meminta
maaf, dan orang tua “menghadap” guru itu di sekolah. Malang nian anak itu.
Wooow. “Mimpi apa semalam” pikir
saya. Selesai mendengar cerita anak itu. Karena “kedisiplinan” sekolah
merupakan salah satu tanggungjawab yang diberikan kepada saya, saya mencoba
menikmati “durian runtuh” ini. Lama saya termenung mendengar cerita anak itu,
sambil berpikir mencari saat yang tepat untuk mencoba berbicara dan mendengar
bagaimana situasi sebenarnya menurut versi sang guru.
Perilaku anak itu tadi adalah satu contoh
yang kadang dikelompokkan sebagai tindakan “melanggar” tata tertib sekolah.
Anak-anak ini adalah “sumber masalah” atau trouble maker bagi guru.
Contoh lain misalnya, siswa merokok
di sekolah, sementara aturan sekolah melarangnya. Melakukan perkelahian,
menggunakan narkoba, atau terlibat pornografi di sekolah.
Dalam bentuk yang lain bisa muncul
seperti membolos, mencuri, atau merusak barang milik sekolah. Juga menyontek
saat ujian. Beberapa sekolah menerapkan aturan tidak boleh mengecat rambut,
rambut panjang, menato badan, tindik telinga atau bagian tubuh lain. Atau tidak
mengerjakan / mengumpulkan pekerjaan rumah. Salah memakai seragam, dan
berpakaian “seenaknya” dan sederetan perilaku negatif lain biasanya disebut
perilaku menyimpang (misbehavior). Sebuah perilaku yang bertentangan
atau tidak sejalan dengan tata tertib atau rule
of the game sekolah diasosiasikan sebagai misbehavior.
Sementara setiap aktifitas di
sekolah yang sesuai dengan norma-norma umum dan tata tertib sekolah serta
berlawanan dengan misbehavior tadi disebut sebagai perilaku baik (good
behavior), dan biasanya itu menyenangkan hati sang guru.
Bagaimana mendorong sikap disiplin
anak?
Sikap disiplin dan perilaku baik
seorang anak dapat dikembangkan melalui beragam strategi dan aktifitas. Bear,
G.G & Duquette, J.F (2008), dalam tulisannya yang berjudul “Fostering
Self-Discipline” yang dimuat di majalah Principal Leadership edisi bulan
oktober menyebutkan beberapa hal perlu diperhatikan untuk mengembangkan sikap
disiplin diri anak di sekolah.
Pertama, perlu dikedepankan sikap peduli,
hormat dan mendukung. Mengembangkan sikap hormat dan bersahabat dengan setiap
anak tanpa padang bulu akan membuat anak yang membuat kesalahan cepat belajar
dari kesalahannya. Sikap itu akan membuat anak merasa lebih dihargai dan
diterima meskipun ia bersalah.
Kedua, melibatkan anak dalam pengambilan
keputusan. Riset menunjukkan bahwa sekolah yang memiliki tingkat pelanggaran
kedisiplinan yang rendah lebih disebabkan karena anak merasa bahwa aturan main
di sekolahnya jelas, adil, dan tidak “keras”. Dengan terlibat dalam pengambilan
keputusan, anak akan memiliki ownership yang lebih, dia merasa juga
perlu ikut bertanggungjawab “menegakkan” aturan itu (Arum, 2003).
Ketiga, melibatkan orang tua dalam
pengambilan keputusan sekolah. Keterlibatan orang tua diperlukan agar terjadi
keseimbangan antara kebiasaan dan norma perilaku yang diterima di sekolah
dengan apa yang dilakukan orang tua di rumah. Seberapa besarnya upaya penanaman
nilai dilakukan di sekolah, tidak akan banyak artinya ketika semua itu
di-“negasi” oleh perilaku orang tua di rumah.
Keempat, mengajarkan anak masalah sosial
dan moral yang relevan bagi mereka. Menggunakan berbagai kesempatan untuk
melatih anak memiliki ketrampilan pemecahan masalah berbagai isu social dan
moral. Tema-tema “sex bebas”, pengguguran, merokok, drug, dsb dapat
dipergunakan untuk mengasah ketajaman anak dalam melewati tahapan perkembangan
kepribadiannya.
Kelima, menyadari bahwa setiap anak
berbeda. Setiap anak perlu diakui bahwa mereka memiliki kepribadian dan
temperamen yang berbeda. Disiplin sekolah perlu mengakomodasi dan tidak
memperlakukan mereka sebagai “barang” yang sama.
Keenam, berikan penghargaan dan pujian.
Memberikan feedback yang positif dalam bentuk pujian dan penghargaan yang tepat
dan proporsinal, dalam banyak hal akan lebih efektif daripada “kontrol” yang
berlebihan kepada anak. Misalnya, “minggu ini tidak ada pekerjaan rumah buat
kalian, karena kita sudah bekerja keras minggu ini” akan lebih baik daripada
mengatakan “kalau kamu menaati peraturan sekolah, tidak ada pekerjaan rumah
buat kalian minggu depan”.
Ketujuh, mereka adalah remaja. Menyadari
mereka adalah remaja adalah penting artinya buat mereka. Guru tidak bisa
memperlakukan mereka sebagai orang dewasa “kecil”. Mendengarkan dan menjadi
pendorong mereka atas segala kesulitan dan masalah pribadinya, akan lebih
bermakna bagi perkembangan diri mereka.
Strategi menangani anak “bermasalah”
Bagaimana pun menangani mereka yang
bermasalah memerlukan ketrampilan dan energi tersendiri. Bear dan Duquette
memberikan beberapa resep praktis bagaimana guru menangani anak “bermasalah”.
Bersikap tenang, tegas, dan adil. Guru harus menunjukkan sikap dan
perhatian yang adil pada anak. Ia tidak perlu larut dalam kemarahan. Fokusnya
adalah pada “perilaku” anak yang dianggap salah, dan bukan cepat membuat
penilaian (judgment) bahwa anak tersebut “jahat” dan “salah”.
Melihat masalah sebagai kesempatan
untuk belajar.
Guru harus belajar dari setiap masalah yang dihadapinya. Menunjukkan kepada
anak, bahwa ia dan anak itu bisa bersalah, namun yang penting bagaimana
memperbaikinya ke depan. Anak itu bersalah, namun dia bisa belajar dari kesalahannya.
Fokus pada dampak perilaku anak bagi
orang lain.
Setiap perilaku anak yang “bermasalah” biasanya menjadikan dirinya ukuran
segalannya. Maka kepada anak itu perlu diajak merefleksikan perbuatannya bagi
orang lain. Bagaimana sikap dan perasaaan orang lain di sekitarnya, misalnya
teman sekelas atau perasaan orang tuanya.
Mempertimbangkan “alasan” dan
memperbaiki cara berpikir. Setiap alasan di balik setiap penyimpangan perilaku anak
perlu di perhatikan oleh guru. Ketika itu dilewati, dan sekedar anak diajak
berubah hanya atas dogma “taat”, sebenarnya guru tidak berhasil mengubah cara
berpikir dan bersikap yang salah pada diri anak tersebut.
Berikan hukuman secara berjenjang
dan melalui beragam bentuk. Bagian terakhir adalah hukuman. Bagian ini pun sebisa
mungkin dilakukan dalam bentuk yang bervariasi, agar karakteristik anak tetap
dihargai dan tujuan pemberian hukuman itu pun tercapai. Hukuman yang tidak
kreatif, hanya bersifat fisik misaknya, tidak memberikan efek positif
sebagaiman diharapkan.
Akhirnya perlu digarisbawahi,
terkadang tidak mudah menilai perlaku “menyimpang” pada anak. Perilaku
“’kreatif” dan “menyimpang” tidak jarang saling beririsan. Apa yang kita
pikirkan ketika anak di sekolah membara “barang” yang bentuknya seperti alat
kelamin pria, misalnya? Kita berasumsi anak itu dengan pasal “pornografi”,
padahal mungkin anak itu sedang merefleksikan bagaiman pentingnya organ itu
bagi kehidupan seorang pria.
Sekali lagi, perilaku “menyimpang”
anak di sekolah mesti disikapi secara kritis pada jaman ini, setujukah anda?
Referensi :
Wibowo, Thomas. 28 Februari 2009. Good Behavior dan Misbehavior, Apa Ukurannya? www. kompas.com. diakses 27 September 2009. Online.
****
Artikel ini digunakan untuk melakukan tugas critical review yang akan dibahas pada entry selanjutnya...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar