1.
Arousal Approach Theory
Inti dari teori ini adalah meningkatnya (bangun, bangkit) atau
berkurangnya kegiatan di otak sebagai suatu akibat dari proses faal tertentu
(Hebb, dalam Sarwono, 1992). Perubahan kegiatan otak ini merupakan variabel perantara (intervening variable) antara rangsang
yang datang dari lingkungan dengan tigkah laku yang terjadi.
Contoh dari
arousal adalah ketika seorang datang dari desa dengan kereta api. Ketika turun di stasiun
ia menghadapi berbagai stimulus seperti keramaian, kebisingan, udara yang
panas, dan polusi udara. Sebagai indikator bahwa orang desa tersebut terjadi
peningkatan kegiatan pada syaraf otonom seperti bertambah cepatnya denyut
jantung, naiknya tekanan darah, dan produksi adrenalin yang lebih cepat. Maka
setelah ada tanda-tanda peningkatan itu, kita dapat meramalkan akan terjadi
perilaku tertentu seperti agresivitas (marah-marah) ataupun mencari kendaraan
umum.
Arousal yang rendah
akan menghasilkan pekerjaan (performance)
yang rendah juga. Makin tinggi arousalnya, makin tinggi pula pekerjaannya. Pada
tugas-tugas yang mudah hasilnya akan terus meningkat dengan meningkatnya
arousal, tetapi pada pekerjaan yang sulit hasil pekerjaan justru akan menurun
jika arousal melebihi batas tertentu.
Misalnya
: suara musik di dalam mobil bisa merangsang semangat pengemudi, tetapi suara musik
yang sama dapat mengganggu konsentrasi orang yang sedang memecahkan persoalan
matematika.
Hubungan
antara arousal dan performance, dalam psikologi Lingkungan disebut Hukum Yerkes dan Dodson.
2.
Environmental Load Theory
Teori ini dikemukakan oleh Cohen dan Milgram. Prinsip
dasar dalam teori ini adalah manusia memiliki keterbatasan dalam mengolah
stimulus dari lingkungannya. Jika stimulus lebih besar dari kapasitas
pengolahan informasi maka terjadi kelebihan beban (overload) yang mengakibatkan sejumlah stimuli harus diabaikan agar
individu dapat memusatkan perhatiannya pada stimuli tertentu saja.
Strategi pemilihan tingkah laku coping untuk memilih
stimuli mana yang mau diprioritaskan atau diabaikan akan menentukan reaksi
positif atau reaksi negative terhadap lingkungannya. Kelebihan kapasitas yang
terlalu besar akan menyebabkan individu tidak mampu lagi menanganinya dalam
kongnisi sehingga akan menimbulkan gangguan kejiwaan seperti merasa bosan,
tertekan, jenuh, dll.
Contohnya : pemandangan suatu kota besar di mana terlalu
banyak gedung tinggi, kendaraan, lampu kota, papan reklame. Oleh karena itu,
orang yang tinggal di kota besar sering mengeluh jenuh, bosan, ingin melarikan
diri untuk mencari ketenangan dan kedamaian.
3.
Adaptation Level Theory
·
Adaptation level adalah
1. Satu titik subjektif dari
persamaan dalam mana perangsang menjadi netral atau tidak berpengaruh lagi.
2. Suatu keadaan homeostatis
bercampur dengan netralitas emosional (Chaplin, 1981)
·
Manusia menyesuaikan responnya terhadap rangsang yang datang
dari luar, sedangkan stimuluspun dapat diubah sesuai keperluan manusia.
Wohlwill menamakan penyesuaian respon terhadap stimulus sebagai adaptasi,
sedangkan penyesuaian stimulus pada keadaan individu disebut adjustment.
·
Setiap orang mempunyai tingkat adaptasi tertentu (adaptation level) terhadap rangsang atau
kondisi lingkungan tertentu.
·
Reaksi orang terhadap lingkungannya bergantung pada tingkat
adaptasi orang yang bersangkutan pada lingkungan itu. Makin jauh perbedaan
antara keadaan lingkungan dengan tingkat adaptasi, maka makin kuat pula reaksi
orang itu.
·
Kondisi lingkungan yang dekat atau sama tingkat adaptasinya
adalah kondisi optimal. Orang cenderung selalu mempertahankan kondisi optimal
ini, dalam skema Bell dinamakan kondisi homeostatis.
·
Ada 3 kategori stimulus yang dijadikan tolok ukur dalam hubungan
lingkungan dan tingkah laku, yaitu
1. Stimulus fisik yang
merangsang indera (suara, cahaya, suhu udara)
2. Stimulus sosial
3. Gerakan
·
Ketiga stimulus itu masing-masing memiliki 3 dimensi, yaitu:
1. Intensitas ; misalnya
suara yang tidak terlalu keras lebih menyenangkan daripada yang terlalu keras atau terlalu
lemah.
2. Diversitas (Variasi
Rangsang) ; terlalu banyak atau terlalu sedikit macam rangsang juga tidak
menyenangkan.
3. Pola ; rangsang yang
terlalu berstruktur mungkin tidak sama sekali menyenangkan daripada yang tidak
berstruktur.
4.
Personal Space
Manusia mempersepsikan
ruang disekitarnya lengkap dengan isinya, tidak berdiri sendiri. Jika isi ruang itu adalah manusia lain maka
orang akan langsung membuat suatu jarak tertentu antara dirinya sendiri dengan
orang lain itu dan jarak itu sangat ditentukan oleh bagaimana kualitas hubungan
orang itu.
Disekitar diri individu
seakan-akan ada sebuah kapsul yang membatasi jarak degan orang lain. Luas atau
sempitnya kapsul itu bergantung pada kadar dan sifat hubungan antar individu
dengan individu lainnya.
Personal space sangatlah bergantung sekali pada bagaimana sikap dan
pandangan orang yang bersangkutan terhadap orang yang lainnya.
Dalam psikologi
lingkungan, jarak antarindividu digunakan sebagai sarana komunikasi.
Personal space adalah
suatu batas maya yang mengelilingi diri kita yang tidak boleh dilalui oleh
orang lain (Bell, Greene, Fisher, & Baum, 2001) sedangkan menurut Holanah (dalam Bell, Greene, Fisher, & Baum, 2001), personal space itu
seolah-olah merupakan sebuah balon atau tabung yang menyelubungi diri kita dan tabung itu membesar dan
mengecil bergantung dengan siapa kita
sedang berhadapan.
Menurut Hall, ada 4 macam
jarak personal space, yaitu : Jarak Intim, Jarak Personal, Jarak Sosial, dan Jarak Publik.
·
Fungsi personal space menurut Hall adalah sebagai alat
komunikasi bisa diteliti secara khusus.
·
Proxemics : Ilmu untuk meneliti personal space, metode yang
dipakai adalah stop-jarak yaitu orang percobaan (o.p) diminta duduk atau
berdiri di suatu tempat tertentu dan orang lain diminta untuk mendekatinya
secara bertahap (makin lama makin dekat).
·
Faktor-faktor yang mempengaruhi personal space , yaitu :
1. Jenis kelamin
2. Usia
3. Tipe kepribadian
4. Latar belakang suku bangsa
dan kebudayaan.
5. Keadaan lingkungan dimana
interaksi tersebut terjadi.
5.
Privacy
·
Privacy adalah keinginan atau kecenderungan pada diri
seseorang untuk tidak diganggu kesendiriannya.. Dalam istilah psikoanalisis, privacy adalah dorongan
untuk melindungi ego seseorang daro gangguan yang tidak dikehendakinya.
·
Hall mendapatkan bahwa ada 6 jenis dalam privacy yang terbagi
dalam dua golongan, yaitu :
1. Golongan pertama adalah
keinginan untuk tidak diganggu secara fisik. Golongan ini terwujud dalam
tingkah laku menarik diri (withdrawal) yang terdiri atas 3 jenis.
a. Keinginan untuk menyendiri
(solitude).
b. Keinginan untuk menjauh
dari pandangan dan gangguan suara tetangga atau kebisingan lalu lintas
(seclusion).
c. Keinginan untuk intim
(intimacy) dengan orang-orang (keluarga/pacar) tetapi jauh dari semua orang
lainnya.
2. Golongan kedua adalah
keinginan untuk menjaga kerahasiaan diri sendiri yang berwujud dalam tingkah
laku hanya member informasi yang dianggap perlu (control of information). Tiga
jenis privacy yang masuk golongan ini adalah :
a. Keinginan untuk
merahasiakan jati diri ( anonymity).
b. Keinginan untuk tidak
mengungkapkan diri terlalu banyak kepada orang lain (reserve).
c. Keinginan untuk tidak
terlibat dengan tetangga (not-neighboring)
·
Privacy dan kerahasiaan (secrecy) terdapat perbedaan yang
hakiki, yaitu privacy merupakan consensus pendapat dan merupakan hak individu
yang diakui oleh masyarakat, sedangkan secrecy lebih mempunyai konotasi
negative, tidak disukai masyarakat, dan tidak ada kaitannya dengan hak
individu.
·
Menurut Holanah, privacy adalah hasrat atau kehendak untuk
mengontrol akses fisik maupun informasi terhadap diri sendiri dari pihak
lain. Sedangkan personal space adalah
perwujudan privacy dalam bentuk ruang (space). Jadi privacy merupakan inti dari
personal space. Privacy mempunyai fungsi dan menjadi bagian dari komunikasi.
·
Fungsi Privacy, antara lain :
1. Sebagai sarana komunikasi,
karena merupakan inti dari personal space.
2. Mengembangkan identitas
pribadi, yaitu mengenal diri sendiri dan menilai diri sendiri.
·
Apabila privacy terganggu apalagi secara terus menerus maka
akan terjadi proses ketelanjangan sosial, yaitu merasa semua orang tahu tentang
semua rahasia diri sendiri sehingga timbul rasa malu menghadapi orang lain.
Selain itu juga terjadi proses deindividuasi, di mana orang merasa bahwa
individunya merasa tidak dihargai lagi karena itu ia pun tidak peduli lagi pada
harga diri sendiri maupun harga diri orang lain.
Referensi :
Bell, P., Greene, T., Fisher, J., & Baum, A. (2001). Environmental Psychology, 5 th Ed. NY: HarcourtBrace,. Inc.
Chaplin, J. P. 1981. Kamus Lengkap Psikologi. Jakarta : Rajawali Press.
Sarwono, Sarlito Wirawan. 1992. Psikologi Lingkungan. Jakarta : Grasindo
Tidak ada komentar:
Posting Komentar