Analisis Psikoterapi
dalam Novel “Jadie – Tangis
Tanpa Suara”
A.
Gambaran
Cerita dalam Novel
Torey Hayden adalah seorang terapis
yang bekerja di sebuah kota kecil di Pecking. Torey, sapaan Torey Hayden meninggalkan pekerjaannya di Sandry Clinic
yang sudah ia tekuni selama 3 tahun. Torey tertarik untuk mengajar pada sebuah
kelas berkebutuhan khusus di Pecking. Kelas yang terdiri dari 4 orang anak yang
mengalami hambatan perkembangan. Di dalam kelas tersebut terdapat 3 anak
laki-laki dan 1 anak perempuan.
Reuben adalah anak pertama yang
datang ke kelas sewaktu Torey mulai mengajar di sekolah tersebut. Reuben
berusia 9 tahun, penyandang autisme, bisa berbicara, mampu melakukan toilet
training, dan memiliki prestasi akademik yang cukup bagus. Reuben diberikan
farmakoterapi oleh orangtuanya dan mengikuti kursus renang dan bermain piano.
Jadie adalah satu-satunya anak
perempuan berusia 8 tahun yang ada di kelas tersebut. Jadie didiagnosa
mengalami hambatan perkembangan elective
mutism. Elective mutism adalah gangguan yang terjadi pada individu berupa
tidak mau berbicara kepada orang lain (membisu) karena alasan-alasan
psikologis, walaupun secara fisik dan intelektual mampu berbicara secara
normal.
Philip berusia 6 tahun, ia terlahir
prematur dari seorang ibu pencandu narkoba, mengalami perkembangan yang lambat
dan harus diasuh dengan berganti-ganti orangtua angkat. Jeremiah adalah murid
terakhir di kelas Torey, seorang anak keturunan Sioux asli Amerika. Tukang
kelahi dan berasal dari keluarga menengah ke bawah.
B.
Identifikasi
Gangguan
Dalam novel ini, yang menjadi
pembahasan utama Torey adalah Jadie, yang berusia 8 tahun dan mengalami elective mutism. Torey sangat excited terhadap hambatan perkembangan
ini, karena ia sudah berkali-kali menghadapi anak seperti Jadie. Jadie pada
awalnya didiagnosa mengalami elective
mutism yaitu gangguan yang terjadi pada individu berupa tidak mau berbicara
kepada orang lain (membisu) karena alasan-alasan psikologis, walaupun secara
fisik dan intelektual mampu berbicara secara normal. Namun, sejalan dengan
proses terapi Jadie tidak hanya mengalami elective
mutism, ia juga diduga mengalami penyiksaan seksual, korban pedofilia atau
seorang anak pengikut ajaran setan yang menghina agama Kristen.
Jadie diidentifikasi mengalami elective mutism karena melihat adanya
simptom-simpton yang ditunjukkan oleh Jadie beberapa tahun belakangan, yaitu
1. Tidak
berbicara sepatah katapun di kelas, tetapi berdasarkan informasi keluarga,
Jadie di rumah mampu berbicara.
2. Tidak
tertawa di kelas.
3. Tidak
menangis di kelas.
4. Tidak
batuk, tidak bersendawa, tidak tersedak selama ia berada di kelas.
5. Tidak
menyedot “ingus” yang keluar dari hidungnya, bahkan membiarkan ingus tersebut
menetes menjijikan.
Jadie sama sekali tidak mengeluarkan
suara sedikitpun selama di kelas dan ini sudah berlangsung lama. Selain itu,
Jadie pernah tidak naik kelas sewaktu di TK karena Jadie tidak ada interaksi
dengan teman sebayanya dan dikucilkan, padahal ia mempunyai kemampuan akademis
yang bagus. Di kelas, Jadie adalah murid yang paling “anteng” karena tidak
protes seperti Jeremiah dan mampu menyelesaikan tugas-tugas dengan baik
daripada Reuben, Philip dan Jeremiah.
Setelah proses terapi yang dilakukan
oleh Torey dan akan dijelaskan pada poin C, Torey ternyata menemukan
peristiwa-peristiwa yang menguatkan dugaannya bahwa jadie mengalami penyiksaan
seksual dan korban pedofilia serta adanya asumsi tentang aliran setan yang ada
disekitar Jadie.
Torey mengasumsikan demikian karena
adanya ciri-ciri yang terlihat pada Jadie, seperti :
1. Pada
suatu hari ketika kelas Torey melakukan kegiatan diluar sekolah, Torey
menemukan Philip teriak – teriak dan menangis histeris ketika sedang berada di
toilet. Setelah dibuka, ternyata Jadie ada di dalam toilet bersama Philip dan
ditemukan adanya bekas gigitan pada penis Philip dan Jadie yang melakukannya.
2. Jadie
dapat menjelaskan secara “jelas” tentang oral seks yang seharusnya tidak
diketahui oleh seorang anak perempuan yang berusia 8 tahun.
3. Pada
suatu ketika, Jemeriah sedang bercengkrama dengan Jadie tentang alat kelamin
laki-laki dan perempuan serta alat kelamin anjing. Ketika ada anjing, Jadie
hampir saja ingin mempraktekkan oral seks pada alat kelamin anjing yaitu
memasukkan alat kelamin anjing ke dalam mulutnya.
Berdasarkan hal tersebut, menurut Torey
tidak akan mungkin seorang anak perempuan berusia 8 tahun mengetahui dan
melakukan hal – hal terrsebut jika Jadie tidak mengalami penyiksaan seksual
atau menjadi korban. Setidaknya dalam hemat Torey, Jadie tidak melakukan hal
tersebut jika hanya dengan menonton Blue
Film tanpa mengalami atau menyaksikan secara langsung. Hal ini diperkuat
setelah Jadie dirawat di salah satu rumah shelter dinas di mana berdasarkan
hasil uji selaput dara, selaput dara Jadie dan kedua adiknya yang berusia 6
tahun dan 1 tahun sudah pecah.
Jadie juga diasumsikan oleh Torey
menjadi bagian dari Aliran Setan atau setidaknya aliran setan tersebut berada
disekelilingnya. Hal ini diidentifikasi berdasarkan pada :
1. Jadie
ketika play therapy berupa menggambar, Jadie menggambarkan tanda X yang
merupakan bagian dari tanda aliran setan.
2. Di
perut Amber, adiknya Jadie terdapat tanda X juga yang digoreskan dengan pisau
oleh Jadie.
3. Jadie
pernah menceritakan kepada Torey dan juga kepada Lindy tentang meminum darah.
Meminum darah adalah bagian dari ajaran setan.
4. Jadie
sangat takut dengan angka 6 seperti pada usia 6 tahun karena angka 6 dalam
aliran setan adalah angka kejahatan (666).
Jadi, berdasarkan uraian yang telah
dijelaskan sebelumnya, Jadie mengalami berbagai macam gangguan hambatan perkembangan
yang komplek walaupun pada awalnya hanya mengalami elective mute, tetapi juga mungkin mengalami penyiksaan seksual,
korban pedofilia atau berhubungan dengan aliran setan yang mungkin ada di
sekitar jadie.
Selengkapnya, bisa di download di sini : Analisis Psikoterapi dalam Novel Jadie-Tangis Tanpa Suara
Tidak ada komentar:
Posting Komentar